Agen Perubahan dan Tantangan Strategis Komunikasi Pembangunan
Netralpost -- Di tengah derasnya arus digitalisasi, komunikasi pembangunan di Indonesia tengah memasuki era redefinisi. Tidak lagi sebatas menyampaikan informasi atau menginformasikan kebijakan, komunikasi pembangunan kini menuntut ruang dialog yang lebih terbuka, keterlibatan publik yang lebih aktif, dan pendekatan yang lebih inklusif. Di sinilah peran agen perubahan menjadi sangat penting sebagai penggerak, penghubung, dan penjaga arah transformasi sosial yang berbasis partisipasi.
Dalam kerangka teoritik, Everett M. Rogers dalam Diffusion of Innovations (2003) menggambarkan agen perubahan sebagai aktor yang mendorong percepatan adopsi inovasi dalam masyarakat. Namun dalam realitas pembangunan saat ini, peran mereka jauh lebih luas: sebagai fasilitator sosial, pendidik komunitas, bahkan sebagai penjaga nilai di tengah pusaran disinformasi digital. Mereka tidak hanya mentransmisikan pesan pembangunan dari atas ke bawah, tetapi juga membawa suara masyarakat ke ruang-ruang pengambilan keputusan.
Digitalisasi dan Perubahan Wajah Komunikasi Pembangunan Era digital telah melahirkan bentuk komunikasi yang cair dan melintasi batas-batas geografis dan institusional. Informasi kini bergerak secara horizontal—tidak terpusat, lebih cepat, dan sering kali tidak terkontrol. Ini membawa implikasi besar bagi pola komunikasi pembangunan, yang sebelumnya banyak mengandalkan pendekatan vertikal dan terstruktur.
Namun, digitalisasi juga membawa risiko baru. Maraknya disinformasi, ketimpangan akses digital, serta rendahnya literasi media menjadi tantangan serius. Komunikasi pembangunan bisa gagal apabila tidak mampu menjawab kompleksitas ini dengan pendekatan yang transformatif.
Dalam konteks inilah, kehadiran agen perubahan menjadi kunci: mereka menjadi jembatan antara kebijakan makro dengan realitas mikro yang dihadapi masyarakat.
Membangun Kapasitas Literasi DigitalPemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menginisiasi berbagai program strategis, termasuk Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD). Sejak 2017 hingga 2023, lebih dari 24 juta warga telah dilatih dalam berbagai aspek literasi digital.
Ini adalah angka yang signifikan, namun belum cukup. Indeks literasi digital Indonesia per 2024 masih berada di angka 3,54 dari skala 5,00, menandakan masih adanya kesenjangan pemahaman dan kapasitas digital di masyarakat luas.
Meningkatkan angka ini bukan hanya soal infrastruktur atau pelatihan teknis, tetapi soal bagaimana menginternalisasi nilai-nilai kewargaan digital termasuk etika bermedia, kemampuan berpikir kritis terhadap informasi, dan kesadaran atas hak serta tanggung jawab di ruang digital.
Di sinilah peran agen perubahan kembali menonjol. Mereka menjadi fasilitator yang tidak hanya menyampaikan pelatihan, tetapi menyesuaikan pendekatan dengan kearifan lokal, bahasa komunitas, dan realitas sosial yang mereka hadapi setiap hari.
Dari Desa ke Dunia Digital: Studi Kasus Program Desa Cerdas
Salah satu contoh konkret dari inisiatif strategis yang melibatkan agen perubahan adalah program Desa Cerdas yang diluncurkan Kominfo pada 2022. Dalam program ini, pemuda-pemudi desa dilatih untuk menjadi katalis digitalisasi di wilayahnya. Mereka menjadi pelatih, pembimbing, sekaligus penggerak dalam mengembangkan potensi desa melalui pemanfaatan teknologi.
Hasilnya cukup nyata. Selain peningkatan kecakapan digital masyarakat desa, juga muncul penguatan ekonomi lokal melalui digitalisasi UMKM, pelestarian budaya lewat konten kreatif lokal, serta terbentuknya komunitas digital yang lebih mandiri dan berdaya.
Program semacam ini membuktikan bahwa ketika masyarakat lokal dipercaya dan dilibatkan secara aktif, pembangunan menjadi lebih relevan dan berkelanjutan.
Tantangan Struktural dan Budaya Komunikasi
Meski demikian, perjalanan agen perubahan bukan tanpa rintangan. Tantangan terbesar yang mereka hadapi mencakup:
1.Disinformasi dan hoaks yang kian masif dan sistemik.
2.Keterbatasan infrastruktur digital, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
3.Budaya komunikasi yang masih top-down dan minim ruang dialog horizontal.
4.Polarisasi sosial-politik yang membuat komunikasi pembangunan rawan disalahartikan atau dibajak kepentingan.
Tantangan ini tidak bisa dihadapi sendirian. Dibutuhkan ekosistem komunikasi pembangunan yang kolaboratif, yang melibatkan negara, akademisi, media, swasta, dan terutama masyarakat sipil. Agen perubahan harus berada di pusat dari ekosistem ini bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi sebagai pemimpin sosial yang menggerakkan perubahan berbasis empati, keadilan, dan inklusivitas.
Menuju Komunikasi Pembangunan yang Relevan dan Berdaya
Di era ketika teknologi dan informasi berkembang begitu cepat, keberhasilan pembangunan tidak lagi cukup diukur dari angka-angka statistik atau capaian fisik semata. Pembangunan sejati adalah ketika masyarakat merasa didengar, dilibatkan, dan diberdayakan. Ketika mereka bukan sekadar objek, tetapi subjek utama dari transformasi itu sendiri.
Agen perubahan, dalam segala bentuk dan perannya, menjadi penentu arah komunikasi pembangunan yang lebih relevan dengan zaman.
Mereka adalah simpul yang menyatukan semangat inovasi dengan realitas sosial, menghubungkan visi pembangunan dengan kebutuhan komunitas. Dengan memperkuat peran mereka, Indonesia tidak hanya membangun infrastruktur digital, tetapi juga membangun peradaban komunikasi yang lebih demokratis dan manusiawi.
Referensi
Rogers, E. M. (2003). Diffusion of Innovations (5th ed.).
Free Press.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2024). Kominfo Latih Lebih dari 24 Juta Orang untuk Literasi Digital. https://kominfo.go.id
GNLD Kominfo. (2022). Laporan Tahunan Literasi Digital. Jakarta: Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika.
Desa Cerdas Kominfo. (2022). Transformasi Digital Berbasis Desa. Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Penulis : Fahrul Rusyadi - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas (UNAND).